Berfikir Reflektif

Pendahuluan

Pengetahuan adalah segala sesuatu yang ditangkap manusia mengenai objek sebagai hasil dari proses mengetahui baik melalui indra maupun akal. Jadi, segala sesuatu yang kita lihat, kita rasakan, kita pikirkan merupakan pengetahuan.
Pengetahuan juga didapat dari proses berpikir. Proses berpikir tersebut merupakan kemampuan manusia dalam menggunakan akal untuk memahami lingkungannya. Tanpa berpikir manusia tidak bisa diakui keberadaannya seperti yang dikemukakan oleh René Descartes yaitu Je pense donc je suis atau Cogito Ergo Sum, yang berarti Saya berpikir maka saya ada. Keberadaan saya diakui karena saya berpikir. Dari kemampuan berpikirnyalah, manusia mampu mengembangkan pengetahuan. Untuk mengembangkan pengetahuan manusia melakukan proses berpikir ilmiah yaitu berpikir sesuai dengan kaidah-kaidah keilmiahan.


Berpikir dilakukan di bidang apapun dan kesempatan apapun, begitu juga di bidang pendidikan. Begitu banyak pakar pendidikan yang telah memikirkan bagaimana cara untuk mengembangkan pendidikan karena pendidikan adalah proses yang terus menerus berubah atau berkembang menyesuaikan kebutuhan perkembangan zaman dan perkembangan teknologi.
Akal pikiran yang dimiliki manusia, menyebabkan manusia dapat menciptakan pengetahuan, namun bukan jaminan manusia memilki pengetahuan secara otomatis, karena pikiran manusia hanyalah ruang kosong yang harus diisi dengan pengetahuan.
Penelitian menempatkan posisi yang paling urgen dalam ilmu pengetahuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Penggunaan cara-cara ilmiah dalam sebuah aktivitas menjawab rasa ingin tahu, tidak saja memerhatikan kebenaran ilmiah (scientific truth), akan tetapi juga mempertimbangkan cara-cara untuk memperoleh kebenaran itu, cara itu adalah penelitian ilmiah (scientific research) atau disebut dengan metode penelitian.
Metode ilmiah merupakan prosedur atau langkah-langkah sistematis dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah atau ilmu. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui metode ilmiah. Metode adalah suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu dengan langkah-langkah yang sistematis. Garis besar langkah-langkah sistematis keilmuan menurut John Dewey adalah metode berpikir reflektif (reflective thinking) yang terdiri dari mencari, merumuskan, dan mengidentifikasi masalah
1. Menyusun kerangka pemikiran (logical construct)
2. Merumuskan hipotesis (jawaban rasional terhadap masalah).
3. Menguji hipotesis secara empirik.
4. Melakukan pembahasan.
5. Menarik kesimpulan.

Pembahasan



Pengertian Berpikir Reflektif
Berpikir reflektif (reflective thinking) merupakan bagian dari metode penelitan yang dikemukakan oleh John Dewey. Pendapat Dewey menyatakan bahwa pendidikan merupakan proses sosial dimana anggota masyarakat yang belum matang (terutama anak-anak) diajak ikut berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan pendidikan adalah memberikan kontribusi dalam perkembangan pribadi dan sosial seseorang melalui pengalaman dan pemecahan masalah yang berlangsung secara reflektif (Reflective Thinking).
Menurut John Dewey metode reflektif di dalam memecahkan masalah, yaitu suatu proses berpikir aktif, hati-hati, yang dilandasi proses berpikir ke arah kesimpulan-kesimpulan yang definitif melalui lima langkah yaitu :
  1. Siswa mengenali masalah, masalah itu datang dari luar diri siswa itu sendiri.
  2. Selanjutnya siswa akan menyelidiki dan menganalisa kesulitannya dan menentukan masalah yang dihadapinya.
  3. Lalu dia menghubungkan uraian-uraian hasil analisisnya itu atau satu sama lain, dan mengumpulkan berbagai kemungkinan guna memecahkan masalah tersebut. Dalam bertindak ia dipimpin oleh pengalamannya sendiri.
  4. Kemudian ia menimbang kemungkinan jawaban atau hipotesis dengan akibatnya masing-masing.
  5. Selajutnya ia mencoba mempraktekkan salah satu kemungkinan pemecahan yang dipandangnya terbaik. Hasilnya akan membuktikan betul-tidaknya pemecahan masalah itu. Bilamana pemecahan masalah itu salah atau kurang tepat, maka akan di cobanya kemungkinan yang lain sampai ditemukan pemecahan masalah yang tepat.
Konsep reflektif dari John Dewey berkenaan dengan kemampuan berfikir reflektif dan bersikap reflektif. Kemampuan berfikir reflektif terdiri atas lima komponen yaitu:
  1. recognize or felt difficulty/problem, merasakan dan mengidentifikasikan masalah;
  2. location and definition of the problem, membatasi dan merumuskan masalah;
  3. suggestion of posible solution, mengajukan beberapa kemungkinan alternatif solusi pemecahan masalah;
  4. rational elaboration of an idea, mengembangkan ide untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan data yang dibutuhkan;
  5. test and formation of conclusion, melakukan tes untuk menguji solusi pemecahan masalah dan menggunakannya sebagai bahan pertimbangan membuat kesimpulan.
Sikap reflektif yang tidak dapat dilepaskan dari kemampuan berfikir reflektif, dikembangkan berdasarkan konsep awal dari Dewey yang telah diperluas dan diaplikasikan oleh beberapa praktisi di bidang pendidikan guru.


Dalam artikel jurnal Teaching and Teacher Education (vol.12.no.1, Januari 1996), Helen L. Harrington cs mengemukakan dan mengembangkan tiga komponen sikap reflektif yaitu:
  1. openmindedness atau keterbukaan, sebagai refleksi mengenai apa yang diketahui, dalam pembelajaran ada tiga pola dasar yaitu pola berfokus pada guru, siswa, dan inklusif;
  2. responsibility atau tanggung jawab, sebagai sikap moral dan komitmen profesional berkenaan dengan dampak pembelajaran pada siswa saja, siswa dan guru, serta siswa, guru dan orang lainnya;
  3. wholeheartedness atau kesungguhan dalam bertindak dan melaksanakan tugas, dengan cara pembelajaran langsung guru, proses interaktif, dan proses interaktif yang kompleks.
Kemampuan berpikir reflektif terdiri dari kemampuan berpikir kritis dan berpikir kreatif sama seperti kemampuan berpikir lainnya.



a.      Berpikir Kritis
Krulik dan Rudnick (NCTM, 1999) mengemukakan bahwa yang termasuk berpikir kritis adalah berpikir yang menguji, mempertanyakan, menghubungkan, mengevaluasi semua aspek yang ada dalam suatu situasi ataupun suatu masalah. Sebagai contoh, ketika seseorang sedang membaca suatu naskah ataupun mendengarkan suatu ungkapan atau penjelasan ia akan berusaha memahami dan coba menemukan atau mendeteksi adanya hal-hal yang istimewa dan yang perlu ataupun yang penting. Demikian juga dari suatu data ataupun informasi ia akan dapat membuat kesimpulan yang tepat dan benar sekaligus melihat adanya kontradiksi ataupun ada tidaknya konsistensi atau kejanggalan dalam informasi itu. Jadi dalam berpikir kritis itu orang menganalisis dan merefleksikan hasil berpikirnya. Tentu diperlukan adanya suatu observasi yang jelas serta aktifitas eksplorasi, dan inkuiri agar terkumpul informasi yang akurat yang membuatnya mudah melihat ada atau tidak ada suatu keteraturan ataupun sesuatu yang mencolok.
Menurut Ennis (1996), berpikir kritis sesungguhnya adalah suatu proses berpikir yang terjadi pada seseorang serta bertujuan untuk membuat keputusan-keputusan yang masuk akal mengenai sesuatu yang dapat ia yakini kebenarannya serta yang akan dilakukan nanti. Seseorang pada suatu saat tertentu akan selalu harus membuat keputusan, oleh karena itu kemampuan berpikir kritis harus dikembangkan, terutama ketika dalam membuat keputusan itu ia sedang berhadapan dengan suatu situasi kritis, terdesak oleh waktu serta apa yang dihadapi itu tidaklah begitu jelas dan rumit. Hal ini biasanya terjadi jika seseorang dihadapkan pada beberapa pilihan keputusan yang mungkin, dan dia harus memilih manakah yang terbaik dari sekian pilihan tersebut. Demikian juga dalam hal berpikir kritis, keputusan yang akan diambil itu haruslah didasarkan pada informasi yang akurat serta pemahaman yang jelas terhadap situasi yang dihadapi. Misalnya dalam membuat suatu keputusan dalam memilih suatu strategi atau suatu teorema dalam matematika untuk membuktikan suatu statemen untuk menghasilkan suatu kesimpulan yang benar, maka hal ini harus didasarkan pada informasi yang diketahui atau yang bersumber dari apa yang dketahui serta sifat-sifat matematika yang relevan dengan masalah yang dihadapi. Sebab, jika keputusan itu tidak didasarkan pada informasi serta asumsi yang benar, maka kesimpulan itu tidak memiliki dasar yang benar. Ada enam unsur dasar yang perlu dipertimbangkan dalam berpikir kritis (Ennis, 1996), disingkat FRISCO, yaitu: fokus , alasan, kesimpulan, situasi, kejelasan dan pemeriksaan secara keseluruhan. Jika keseluruhan unsur ini telah dipertimbangkan secara matang maka orang dapat membuat keputusan yang tepat. 

b.      Berpikir Kreatif
Berpikir kreatif adalah suatu kemampuan berpikir yang berawal dari adanya kepekaan terhadap situasi yang yang sedang dihadapi, bahwa di dalam situasi itu terlihat atau teridentifikasi adanya masalah yang ingin atau harus diselesaikan. Selanjutnya ada unsur originalitas gagasan yang muncul dalam benak seseorang terkait dengan apa yang teridentifikasi. Hasil yang dimunculkan dari berpikir kreatif itu sesungguhnya merupakan suatu yang baru bagi yang bersangkutan serta merupakan sesuatu yang berbeda dari yang biasanya dia lakukan. Untuk mencapai hal ini orang harus melakukan sesuatu terhadap permasalahan yang dihadapi, dan tidak tinggal diam saja menunggu. Dalam keadaan yang ideal, manakala siswa dihadapkan (oleh guru) pada suatu situasi, siswa diminta untuk melakukan suatu observasi, eksplorasi, dengan menggunakan intuisi serta pengalaman belajar yang mereka miliki, dengan hanya sedikit panduan atau tanpa bantuan guru (Sobel, dan Maletsky, 1988). Tetapi pendekatan seperti ini khususnya tidak hanya cocok bagi siswa yang pandai, namun memberikan suatu pengalaman yang diperlukan bagi mereka di kemudian hari dalam melakukan penelitian.
Berpikir kreatif juga nampak dalam bentuk kemampuan untuk menemukan hubungan-hubungan yang baru, serta memandang sesuatu dari sudut pandang yang berbeda dari yang biasanya (Evans, 1999).
Evans (1991) mengemukakan bahwa berpikir kreatif terdeteksi dalam empat bentuk yaitu : kepekaan (sensitivity), kelancaran (fluency), keluwesan (flexibiliy), dan keaslian (originality). Berkaitan dengan kepekaan, keaslian, kelenturan serta kelancaran dalam proses berpikir yang melahirkan gagasan (kreatif) dipandang perlu adanya suatu tindakan lanjut untuk membenahi serta menata dengan baik atau teratur dan rinci apa yang telah dihasilkan. Hal ini perlu dilaksanakan agar individu tidak kehilangan momentum dalam suasana belajar, terutama sebelum ia sempat lupa akan ide-ide yang bagus yang muncul. Penantaan yang teratur dan rinci ini membuka kesempatan padanya untuk sewaktu-waktu dapat mengulangi atau membaca serta mengkaji kembali apa yang ia hasilkan
Proses berpikir refleksi ini pernah diperkenalkan oleh John Dewey. Ia mengemukakan proses berpikir tersebut melalui langkah-langkah, berikut ini:
1.      The felt need, yaitu suatu kebutuhan
2.      The problem, yaitu menetapkan masalah
3.      The hyphothesis, yaitu menyusun hipotesis
4.      Collection of data as avidance, yaitu merekam data untuk pembuktian
5.       Concluding belief, yaitu membuat kesimpulan yang diyakini kebenarannya
6.      General value the conclusion, yaitu memformulasikan kesimpulan secara umum



John Dewey dalam menerapkan konsep pragmatisme secara eksperimental dalam memecahkan masalah dengan 5 langkah utama yaitu: 
1.   Adanya suatu kesulitan yang dirasakan.
Kesulitan mungkin dirasakan dengan adanya kepastian yang memadai, sehingga hal ini menyebabkan akal budi memikirkan pemecahannya yang mungkin atau menimbulkan kegelisahan atau kejutan yang tidak jelas sehingga baru kemudian mencetuskan upaya yang pasti untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Pada langkah ini pebelajar mempunyai pengalaman langsung dari keterlibatannya artinya dalam tahap ini, pebelajar merasakan adanya permasalahan setelah mengalami langsung situasi belajar.
2.    Menentukan letak dan batas kesulitan
Langkah ini menuntun pebelajar untuk berfikir kritis yang terkendali dan pemikiran yang tidak terkendali. Berdasarkan pengalaman pada langkah pertama tersebut pebelajar mempunyai masalah khusus yang merangsang pikirannya, dalam langkah ini pebelajar mencermati permasalahan dan timbul upaya mempertajam masalah sampai pada menentukan faktor-faktor yang diduga menyebabkan timbulnya masalah.
3.    Saran pemecahan yang mungkin
Pebelajar mempunyai atau mencari informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah tersebut, dalam langkah ini pebelajar memikirkan dan merumuskan penyelesaian masalah dengan mengumpulkan data-data pendukung.
4.   Pengembangan melalui penalaran dari langkah ketiga
Pada langkah ini pebelajar mengembangkan berbagai kemungkinan dan solusi tentatif untuk memecahkan masalah, pebelajar berusaha untuk mengadakan penyelesaian masalah dengan memunculkan hipotesis penyelesaian masalah
5.   Melakukan pengamatan dan percobaan lebih lanjut
Pada langkah kelima mengarahkan pada penerimaan atau penolakan kesimpulan mengenai keyakinan atau kesangsian. Artinya pebelajar menguji kemungkinan dengan jalan menerapkannya untuk memecahkan masalah sehingga pebelajar menemukan sendiri keabsahan temuannya, pebelajar mencoba menyelesaikan permasalahan dengan menguji hipotesis yang sudah disusunnya dan kemudian menarik kesimpulan. Menguji hipotesis dilakukan dengan eksperimen, pengujian dan perekaman data di lapangan. Data-data dihubungkan satu dengan yang lain agar nantinya ditemukan keterkaitan antar data tersebut dengan melakukan analisis. Berdasarkan analisis data tersebut kemudian ditarik kesimpulan yang mendukung atau menolak hipotesis (Yusufhadi, 2005 :129).

Dari langkah di atas, Dewey berusaha menyusun suatu teori yang logis dan tepat berdasarkan konsep, pertimbangan, penyimpulan dalam bentuknya yang beraneka ragam, dalam arti alternatif. Menurutnya apa yang dikatakan benar adalah apa yang pada akhirnya disetujui oleh semua orang yang menyelidikinya. Jadi menurut Dewey, kesimpulan penelitian yang dihasilkan haruslah berlaku secara umum tidak hanya untuk kasus tertentu saja.
Kegiatan berpikir timbul karena adanya gangguan terhadap situasi yang menimbulkan masalah bagi manusia (langkah 1,2) untuk memecahkannya disusun hipotesis sebagai bimbingan bagi tindakan berikutnya. Dewey menegaskan bahwa berpikir ilmiah merupakan alat untuk memecahkan masalah, yang kemudian disebut metode ilmiah. Metode ilmiah tersebut oleh Dewey disebut dengan reflective thinking. Langkah-langkah metode ilmiah menurut Nana (2007) adalah sebagai berikut:
  1. Mengidentifikasi masalah
  2. Merumuskan dan membatasi masalah
  3. Menyusun hipotesis
  4. Mengumpulkan dan menganalisis data
  5. Menguji hipotesis dan menarik kesimpulan

Hubungan antara Filasafat Ilmu dengan Berpikir Reflektif
Menurut Endang Komara (2010) dalam Endang Komara’s Blog menyatakan bahwa hubungan antara filsafat ilmu dengan metode penelitian yang didalamnya terdapat urutan berpikir reflektif  adalah filsafat ilmu menjelaskan tentang duduk perkara ilmu atau science itu, apa yang menjadi landasan asumsinya, bagaimana logikanya (doktrin netralistik etik), apa hasil-hasil empirik yang dicapainya, serta batas-batas kemampuannya. Sedangkan Metodologi penelitian menjelaskan tentang upaya pengembangan ilmu berdasarkan tradisi-tradisinya, yang terdiri dari dua bagian, yaitu deduktif maupun induktif. Demikian pula tentang hasil-hasil yang dicapai, yang disebut pengetahuan atau knowledge, baik yang bersifat deskriptif (kualitatif dan kuantitatif) maupun yang bersifat hubungan (proporsi tingkat rendah, proporsi tingkat tinggi, dan hukum-hukum).
Filsafat ilmu maupun metodologi penelitian bersifat mengisi dan memperluas cakrawala kognitif tentang apa yang disebut ilmu, yang diharapkan akan menimbulkan pengertian untuk berdisiplin dalam berkarya ilmiah, sekaligus meningkatkan motivasi sebagai ilmuwan untuk melaksanakan tugas secara sungguh-sungguh.
Filsafat Ilmu menurut Beerling (1988:1-4) adalah penyelidikan tentang ciri-ciri mengenai pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperoleh pengetahuan. Filsafat ilmua erat kaitannya dengan filsafat pengetahuan atau epistemologi, yang secara umum menyelidiki syarat-syarat serta bentuk-bentuk pengalaman manusia, juga mengenai logika dan metodologi.
Metode ilmiah merupakan prosedur atau langkah-langkah sistematis dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah atau ilmu. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui metode ilmiah. Metode adalah suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu dengan langkah-langkah yang sistematis. Garis besar langkah-langkah sistematis keilmuan menurut Soetriono dan SRDm Rita Hanafie (2007:157) sebagai berikut:
1.      Mencari, merumuskan, dan mengidentifikasi masalah.
2.      Menyusun kerangka pemikiran (logical construct).
3.      Merumuskan hipotesis (jawaban rasional terhadap masalah)
4.      Menguji hipotesis secara empirik.
5.      Melakukan pembahasan.
6.      Menarik kesimpulan.
Tiga langkah pertama merupakan metode penelitian, sedangkan langkah-langkah selanjutnya bersifat teknis penelitian. Dengan demikian maka pelaksanaan penelitian menyangkut dua hal, yaitu hal metode dan hal teknis penelitian. Namun secara implisit metode dan teknik melarut di dalamnya.
1.   Mencari, merumuskan dan mengidentifikasi masalah, yaitu menetapkan masalah penelitian, apa yang dijadikan masalah penelitian dan apa obyeknya. Menyatakan obyek penelitian saja masih belum spesifik, baru menyatakan pada ruang lingkup mana penelitian akan bergerak. Sedangkan mengidentifikasi atau menyatakan masalah yang spesifik dilakukan dengan mengajukan pertanyaan penelitian (research question), yaitu pertanyaan yang belum dapat memberikan penjelasan (explanation) yang memuaskan berdasarkan teori (hukum atau dalil) yang ada. Misalnya menurut teori dinyatakan bahwa tidak semua orang akan bersedia menerima suatu inovasi, sebab ada golongan penolak inovasi (laggard). Tetapi pada kenyataannya (faktual) terdapat inovasi yang mudah diterima sehingga tidak mungkin ada golongan yang menolaknya (laggard). Oleh karena itu pertanyaan penelitiannya dapat diidentifikasikan pada situasi mana atau pada kondisi mana tidak ada golongan laggard. Dengan mengidentifikasi situasi atau kondisi yang memungkinkan atau tidak memungkinkan secara lebih lanjut berarti telah merumuskan masalah penelitian.
      Cara yang paling sederhana untuk menemukan pertanyaan penelitian (research question) adalah melalui data sekunder. Wujudnya berupa beberapa kemungkinan misalnya:
  • Melihat suatu proses dari perwujudan teori.
  •  Melihat linkage dari proposisi suatu teori, kemudian bermaksud memperbaikinya.
  • Merisaukan keberlakuan suatu dalil atau model di tempat tertentu atau pada waktu tertentu.
  •  Melihat tingkat informative value dari teori yang telah ada. Kemudian bermaksud meningkatkannya.
  • Segala sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan teori yang telah ada atau belum dapat dijelaskan secara sempurna.

2.   Menyusun kerangka pemikiran yaitu mengalirkan jalan pikiran menurut kerangka yang logis atau menurut logical construct. Hal ini tidak lain dari mendudukperkarakan masalah yang diteliti (diidentifikasi) dalam kerangka teoretis yang relevan dan mampu menangkap, menerangkan, serta menunjukkan perspektif terhadap masalah itu. Upaya ditujukan untuk menjawab atau menerangkan pertanyaan peneltian yang diidentifikasi.
      Cara berpikir (nalar) kearah memperoleh jawaban terhadap masalah yang diidentifikasi ialah dengan penalaran deduktif. Cara penalaran deduktif ialah cara penalaran yang berangkat dari hal yang umum (general) kepada hal-hal yang khusus (spesifik). Hal-hal yang umum ilah teori/dalil/hukum, sedangkan hal yang bersifat khusus (spesifik) tida lain adalah masalah yang diidentifikasi.

3.   Merumuskan hipotesis. Hipotesis adalah kesimpulan yang diperoleh dari penyusunan kerangka pemikiran, berupa proposisi deduksi. Merumuskan berarti membentuk proposisi yang sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan serta tingkat-tingkat kebenarannya. Bentuk-bentuk proposisi menurut tingkat keeratan hubungannya (linkage) serta nilai-nilai informasinya (informative value). Jika dikaji kembali kalimat-kalimat proposisi, baik berupa teori maupun hipotesis, ternyata kalimat-kalimat itu mengandung juga komponen, yaitu komponen antiseden, konsekuen, dan depedensi.
4.   Menguji hipotesis ialah membandingkan atau menyesuaikan (matching) segala yang terkandung dalam hipotesis dengan data empirik. Pembandingan atau penyesuaian itu pada umumnya didasarkan pada pemikiran yang beranggapan bahwa di alam ini suatu peristiwa mungkin tidak terjadi secara tersendiri. Dengan kata lain, suatu sebab mungkin akan menimbulkan beberapa akibat, atau mungkin pula suatu akibat ditimbulkan oleh beberapa penyebab.
      Pengujian hipotesis dalam penelitian mutakhir mempergunakan metode matematika/statistika, dengan mempergunakan rancangan uji hipotesis yang telah tersedia. Dengan kata lain, peneliti tinggal memilih rancangan uji mana yang tepat dengan hipotesisnya. Meskipun demikian jika peneliti tidak memahami sifat-sifat data/informasi (variabel) yang akan diukur maka akan sulit baginya untuk memilih rancangan uji statistik.
5.   Membahas dan menarik kesimpulan. Dalam membahas sudah termasuk pekerjaan interpretasi terhadap hal-hal yang ditemukan dalam penelitian. Dalam interpretasi, pikiran kita diarahkan pada dua titik pandang. Pertama, kerangka pemikiran yang telah disusun, bahkan ini harus merupakan frame of work pembahasan penelitian. Kedua, pandangan diarahkan ke depan, yaitu mengaitkan kepada variabel-variabel dari topic aktual. Pembahasan tidak lain adalah mencocokkan deduksi dalam kerangka pemikiran dengan induksi dari empiric (hasil pengujian hipotesis), atau pula kepada induksi yang diperoleh orang lain (hasil penelitian orang lain) yang relevan. Bagaimana hasil dari mencocokkan ini, apakah cocok (parallel atau analog), atau sebaliknya (bertentangan atau kontradiktif). Apabila ternyata bertentangan atau tidak cocok maka perlu dilacak di mana letak perbedaan atau pertentangan itu dan apa kemungkinan penyebabnya.
6.  Hasil pembahasan tidak lain ialah kesimpulan. Kesimpulan penelitian adalah penemuan-penemuan dari hasil interpretasi dan pembahasan. Penemuan dari interpretasi dan pembahasan harus merupakan jawaban terhadap pertanyaan penelitian sebagai masalah, atau sebagai bukti dari penerimaan terhadap hipotesis yang diajukan. Pernyataan-pernyataan dalam kesimpulan dirumuskan dalam kalimat yang tegas dan padat, tersusun dari kata-kata yng baik dan pasti, sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan tafsiran yang berbeda (apa yang dimaksud oleh peneliti harus ditafsirkan sama oleh orang lian). Pernyataan tersusun sesuai dengan identifikasi masalah tahu dengan susunan hipotesisnya.



Manfaat Berpikir Reflektif dalam Filsafat Ilmu
Manusia berfikir karena sedang menghadapi masalah, masalah inilah yang menyebabkan manusia memusatkan perhatian dan tenggelam dalam berpikir untuk dapat menjawab dan mengatasi masalah tersebut, dari masalah yang paling sumir/ringan hingga masalah yang sangat "Sophisticated"/sangat muskil.
Kegiatan berpikir manusia pada dasarnya merupakan serangkaian gerak pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan [knowledge].
Berpikir reflektif dalam filsafat ilmu bermanfaat dalam:
  1.  menemukan pertanyaan penelitian (research question) melalui data sekunder.
  2.  Melihat suatu proses dari perwujudan teori
  3.  Melihat linkage dari proposisi suatu teori, kemudian bermaksud memperbaikinya.tertentu.
  4. Melihat tingkat informative value dari teori yang telah ada. Kemudian bermaksud meningkatkannya.
  5.  Menjelaskan segala sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan teori yang telah ada atau belum dapat dijelaskan secara sempurna.
  6. Menyusun kerangka pemikiran yaitu mengalirkan jalan pikiran menurut kerangka yang logis atau menurut logical construct. Hal ini tidak lain dari mendudukperkarakan masalah yang diteliti (diidentifikasi) dalam kerangka teoretis yang relevan dan mampu menangkap, menerangkan, serta menunjukkan perspektif terhadap masalah itu. Upaya ditujukan untuk menjawab atau menerangkan pertanyaan peneltian yang diidentifikasi.

Kesimpulan


1.   Berpikir reflektf adalah merupakan bagian dari metode penelitan yang dikemukakan oleh John Dewey yaitu suatu proses berpikir aktif, hati-hati, yang dilandasi proses berpikir ke arah kesimpulan-kesimpulan yang definitif melalui lima langkah yaitu :
      a.      Menyusun kerangka pemikiran (logical construct)
      b.      Merumuskan hipotesis (jawaban rasional terhadap masalah).
      c.      Menguji hipotesis secara empirik.
      d.      Melakukan pembahasan.
      e.      Menarik kesimpulan. 
2.  Hubungan antara Filsafat Ilmu dengan berpikir kreatif adalah hubungan antara filsafat ilmu dengan metode penelitian yang didalamnya terdapat urutan berpikir reflektif  adalah filsafat ilmu menjelaskan tentang duduk perkara ilmu atau science itu, apa yang menjadi landasan asumsinya, bagaimana logikanya (doktrin netralistik etik), apa hasil-hasil empirik yang dicapainya, serta batas-batas kemampuannya. Sedangkan Metodologi penelitian menjelaskan tentang upaya pengembangan ilmu berdasarkan tradisi-tradisinya, yang terdiri dari dua bagian, yaitu deduktif maupun induktif yang didalamnya terdiri dari  menyusun kerangka pemikiran (logical construct), Merumuskan hipotesis (jawaban rasional terhadap masalah), Menguji hipotesis secara empirik, Melakukan pembahasan Menarik kesimpulan.




Daftar Pustaka


Anwar, Saeful. 2007. Filsafat Ilmu Al-Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi. Bandung: Pustaka Setia.


Beerling. 1988. Filsafat Dewasa Ini. Terj. Hasan Amin. Jakarta: Balai Pustaka.Kattsof, Louis. 1987. Element of Pholosophy. Terj.Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana.


 Endang_komara’s blog


Suriasumantri, Jujun S. 1986. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.


Soetriono dan SRDm Rita Hanafie. 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Andi




Pusat Ambil Alih Empat Mata pelajaran

Sekolah tak boleh mengubah


JAKARTA—Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) akan merombak kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Salah satunya mengambil alih pengelolaan empat mata pelajaran. Yaitu, agama, pendidikan kewarganegaraan (PKn), bahasa Indonesia, dan matematika. Sebelumnya, pengelolaan semua mata pelajaran berada di setiap sekolah.

”Ini bocoran saja, belum saya setujui. Sekarang KTSP semuanya diserahkan kepada daerah. Masalah pelajaran mengenai seni budaya, muatan lokal, itu semua diserahkan kepada daerah dan sekolah,” ucap Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh di Jakarta, kemarin (6/5).Menurut Nuh, pengambilalihan dilakukan karena empat mata pelajaran tersebut memiliki ikatan secara nasional. Tiga mata pelajaran (bahasa Indonesia, agama, PKn) adalah penalaran (logika) secara nasional dan umum. Sedangkan untuk matematika, pemerintah tidak mau membedakan materi antardaerah.

”Mulai persamaan simbol matematika dan lain-lain,” kata Nuh. ”Materi-materi lain, seperti bahasa Indonesia, harus disimpulkan secara universal, namun dikomplekskan keindonesiaan secara utuh,” tambah bapak satu anak ini.Jadi, lanjut menteri asal Surabaya itu, pemisahan mata pelajaran yang dipegang pemerintah pusat dan daerah akan menyelesaikan sejumlah pertanyaan di masyarakat. Misalnya, bahasa Inggris akan disesuaikan dengan kondisi kabupaten atau kota bersangkutan.

Selama ini, lanjut mantan rektor ITS tersebut, KTSP langsung diserahkan pemerintah pusat kepada sekolah untuk dikembangkan. Sistem ini memang bagus, tapi tidak semua hal bisa didesentralisasikan. Ada bagian-bagian tertentu yang harus ”dirawat” secara nasional. Dengan dinasionalisasikannya empat mata pelajaran itu, kata Nuh, sekolah tidak boleh menambahkan materi apa pun ke dalamnya. ”PKn tidak boleh ditambah-tambahi dengan case-case (kasus-kasus, Red) macam-macam. Tapi, IPS boleh. IPA juga boleh. Untuk urusan agama, bahasa Indonesia, dan matematika, ini dikunci secara nasional. Jadi, semuanya diawasi,” tegas Nuh. Saat ini Kemendiknas membahas perubahan kurikulum dengan sejumlah pakar. Setelah itu, KTSP baru disosialisasikan (cdl/jpnn/c2/nw)

Sumber : Pontianak Post

Pemikiran Politik Indonesia

Pendahuluan

Budaya berasal dari kata ‘buddhayah’ yang berarti akal, atau dapat juga didefinisikan secara terpisah yaitu dengan dua buah kata ‘budi’ dan ‘daya’ yang apabila digabungkan menghasilkan arti mendayakan budi, atau menggunakan akal budi tersebut. Bila melihat budaya dalam konteks politik hal ini menyangkut dengan pemikiran politik dan sistem politik yang dianut suatu negara beserta semua struktur dan fungsi (interkasi dan tingkah laku) yang terdapat didalamnya.

Kebudayaan politik di Indonesia pada dasarnya bersumber dari tingkah laku, pola dan interaksi yang majemuk, Menurut Herbert Feith dan Lance Castles dalam buku ”Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965”. ada lima aliran pemikiran politik yang mewarnai perpolitikan di Indoensia, yakni: nasionalisme radikal, tradisionalisme Jawa, Islam, sosialisme demokrat, dan komunisme. Kelima aliran pemikiran inilah yang membentuk budaya politik dan sistem politik di Indonesia dari masa lampau sampai masa sekarang, dengan berbagai perubahan yang terjadi di Indonesia. Membicarakan Budaya politik di Indonesia tak lepas dari pemikiran politik yang secara historis mewarnai perpolitikan di Indonesia.

Secara garis besar perpolitikan di Indonesia dibagi menjadi 3 periode yaitu : Periode pemikiran politik tradisional, pemikiran politik pada masa pergerakan, dan pemikiran politik pada masa sesudah kemerdekaan.


Periode Pemikiran Politik Tradisional

Jauh sebelum politik pada dunia modern dikenal, kita telah mengenal pemikiran-pemikiran yang berhubungan dengan politik terlepas sesuai dengan teori yang berlaku sekarang atau pun tidak. Pemikiran itu sudah ada terlihat dari sejarah perkembangan kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Indonesia baik kerajaan kecil maupun besar diantaranya : Kutai di Kalimantan di abad ke 5, Melau di Sumatra dan Kalinga di Jawa di abad ke 7, Sriwijaya di abad ke 5 sampai abad ke 10, Majapahit di abad ke 13, dan Aceh di abad 16-17, dan sebagainya.

Koentraraningrat menyebutkan Yang menjadi ciri periode politik tradisional adalah Kepemimpinan masyarakat tradisional kesatuan-keasatuan sosialnya yang mempunyai bentuk kepemimpinan masyarakat negara kuno, dengan penduduk ribuan atau puluhan ribu orang, membutuhkan syarat kempemimpinan yang tidak cukup hanya kewibawaan saja melainkan juga harus memiliki kepandaian dalam berbagai aspek kehibupan. Koentjaraningrat menyebut syarat-syarat kepemimpinan dalam kerangka ini adalah : kharisma, kewibawaan (Popularitas, kapasitas, kecendekiwanan), wewenang (dengan legitimasi melalui prosedur adat atau hukum setempat) dan kekuasaan dalam arti khusus dan syarat yang dibutuhkan seperti seorang raja.
Salah satu budaya politik yang berkembang pada budaya politik tradisional adalah paham kekuasaan religius, Frans Mangnis Suseno menyebutkan Inti paham kekuasaan religius ialah bahwa hakikat kekuasaan disini kekuasaan politik, bersifat adiduniawi dan adimanusiawi. Berasal dari alam ghaib atau termasuk yang ilahi. Raja merupakan medium yang menghubungkan mikrokosmos manusia dengan mikrokosmos Tuhan. Contoh kongkret paham kekuasaan religius ada pada kekuasaan yang dulu hidup pada masyarakat Jawa. Kekuasaan dianggap sebagai ungkapan energi halus alam semesta dan salah satu bentuk operasional tenaga gaib alam semesta sendiri. Dalam kerangka itu penguasa dapat dipahami sebagai manusia yang mampu menyadap kekuatan-memuatan yang ada di alam semesta ini. Ia seakan-akan mampu mengontrol kekuatan-kekuatan kosmis yang menyatakan diri dalam wilayah kekuasaannya.

Kekuatan batin penguasa berpancaran sebagai wibawa kedalam masyarakat. Masyarakat dapat merasakannya. Penguasa dianggap memiliki kekuatan-kekuatan tertentu. Kekuatan ini ditandai dengan terjadinya keselarasan yang terjadi antara semua kekuatan yang bekerja pada suatu wilayah, baik faktor sosial maupun alam. Keselarasan sosial tercapai bila negeri aman sentosa dan tidak terdapat keresahan pada masyarakat, keselarasan dengan alam bila lahan pertanian subur dan hasil pertanian melimpah ruah serta tidak terjadi bencana dan hama pertanian.

Dalam kekuasaan Jawa unsur-unsur kekuasaan seperti fisik, militer, kapabilitas, kepintaran memang juga penting tetapi tidak menentukan. Selain keselarasan kekuasaan dengan paham religius juga sangat tergantung dengan sikap batin orang yang bersangkutan dan tergantung pada keluhuran budinya. Ia harus Sepi ing pamrih tidak terikat dengan hawa nafsu dan kepentingan dunia, ia harus bersih dari angkara murka supaya dapat menjadi heneng, hening, hawas dan heling (diam, jernih, awas dan ingat). Dan memiliki semboyan ”sugih tana benda, digjaya tanpa aji, unggul tanpa bala, menang tanpa ngasorake” (Kaya tanpa benda, tak terkalahkan tanpa senjata, unggul tanpa tentara, menang tanpa merendahkan). Ciri-ciri ini akan dimiliki raja bila ia adil tanpa pilih asih, budipekerti dan wicaksana.

Legitimasi kekuasaan relegius tak membutuhkan legitimasi rakyat karena Tuhan tidak membutuhkan legitimasi dari manusia, legitimasi pada paham religius tidak bersifat etis tetapi bersifat religius dengan unsur : tingkat kesaktian, pemerintahan adil makmur dan tentram, keluhuran budinya. Ia harus Sepi ing pamrih tidak terikat dengan hawa nafsu dan kepentingan dunia, ia harus bersih dari angkara murka supaya dapat menjadi heneng, hening, hawas dan heling (diam, jernih, awas dan ingat).

Pemikiran Politik Pada Masa Pergerakan

Pemikiran pada masa pergerakan kemerdekaan beberapa tokoh meuncul dalam upaya kemerdekaan Indonesia, diantara tokohnya yaitu : Sukarno, Mohammad Hatta, Natsir, Sutan Syahrir & Tan Malaka. Para tokoh inilah yang mewarnai aktivitas politik pada masa pergerakan. Pemikrian politik yang paling dominan pada masa pergerakan adalah pemikiran sosialisme demokrat yang pada waktu itu wacana sosialisme demokrat di gagas oleh Soetan Syahrir dan Mohammad Hatta dalam wadah Partai Sosial Demokrat (PSI) pada waktu itu.

Aliran Sosialisme Demokrat mempunyai perbedaan dengan sosialis di Indonesia lainnya, perbedaan terletak pada besarnya perhatian partai ini terhadap kebebasan individu, keterbukaan terhadap arus intelektual dunia dan penolakan terhadap obsercruantisme, chauvinisme, dan kultus individu. Pada tahun 1932 Syahrir dan Hatta sekembalinya dari luar negeri mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia, badan ini mengabdikan diri pada strategi pembentukan kader politik yang matang, yang dapat berdiri sendiri dan dapat meneruskan kegiatan nasionalis meskipun para pemimpinya tersingkir, dan terbukti pada tahun 1934 dua tahun setelah PNI didirikan Syahrir dan Hatta di tangkap dan dibuang ke Indonesia Timur, dan baru di bebaskan beberapa saat menjelang serbuan Jepang.

Syahrir dan Hatta pada masa pendudukan Jepang memiliki jalan yang berbeda, Hatta dan Soekarno bekerja sama dengan Jepang, sedangkan Syahrir memimpin suatu organisasi bawah tanah untuk melawan mereka. Ketika Jepang menyerah kalah setelah proklamasi kemerdekaan Sekutu menunjuk Syahrir sebagai perdana menteri mulai November 1945 sampai Juni 1947.

Sampai awal tahun 1950an PSI tetap menjadi salah satu kekuatan politik yang penting, dan namanya cukup berwibawa di luar negeri, tetapi di Indonesia sendiri pengaruh partai ini lama-lama berkurang. Partai ini lebih banyak menarik para cendikiawan di banding dengan partai-partai lainnya dan sering memegang peranan penting dalam perdebatan-perdebatan politik. Tetapi pada akhir lima puluhan PSI mendapat banyak kritikan karena tidak mengakar ke rakyat. Ketika Presiden Sukarno menetapkan demokrasi terpimpin
Pandangan Bung Hatta berasal dari berbagai tulisan dan pidato beliau sewaktu di Eropa yang bermaksud untuk memperkenalkan Indonesia tentang cita-cita kebangsaan, penderitaan rakyat banyak, kekejaman perlakuan pemerintah Belanda terhadap rakyat dan pergerakan kebangsaan dan cara-cara yang menurutnya perlu dilakukan untuk mencapai cita-cita kemerdekaan itu. Pemikiran-pemikiran beliau untuk mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan kolonialisme Belanda adalah :

1. Non-koperasi, menurut Hatta cara inilah satu-satunya yang harus ditempuh untuk mencapai kemerdekaan, bagi Hatta non-koperasi berarti antara lain menolak duduk dalam dewan-dewan perwakilan yang didirikan oleh pihak kolonial, baik dipusat maupun di daerah. Non koperasi juga berarti menolak bekerja di lingkungan pemerintahan kolonialisme.
2. Percaya Pada Diri Sendiri, untuk bisa melawan organisasi dan kekuatan kolonialisme perlu dibangun rasa keyakinan dan kepercayaan pada diri sendiri. Kepercayaan pada diri sendiri yang semakin terkikis oleh kebijakan represif kolonialisme Belanda, rakyat telah lama kena pukau ketidakmampuan dirinya, kata Hatta. Ini harus dibalikan, harus percaya tentang kemampuannya.
3. Persatuan, persatuan yang mempersatukan segenap kekuatan dalam melawan kekuatan penjajah, untuk itu menurut Hatta perlu lebih dahulu aksi massa, pembentukan kekuasaan yang bisa dicapai lewat propaganda untuk menegakan persatuan dan solidaritas, kepercayaan diri dan kesadaran diri.



Pemikiran Politik Setelah Masa Kemerdekaan dan Saat Ini

Membicarakan Budaya politik di Indonesia tak lepas dari pemikiran politik yang secara historis mewarnai perpolitikan di Indonesia. Aliran politik Indonesia menurut Herbert Feith dan Lance Castles dalam buku ”Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965”. yang mewarnai perpolitikan di Indoensia, yakni:
1. Komunisme yang mengambil konsep-konsep langsung maupun tidak langsung dari Barat, walaupun mereka seringkali menggunakan ideom politik dan mendapat dukungan kuat dari kalangan abangan tradisional. Komunisme mengambil bentuk utama sebagai kekuatan politik dalm Partai Komunis Indonesia.
2. Sosialisme Demokrat yang juga mengambil inspirasi dari pemikiran barat. Aliran ini muncul dalam Partai Sosialis Indonesia.
3. Islam yang terbagi menjadi dua varian: kelompok Islam Reformis (dalam bahasa Feith)- atau Modernis dalam istilah yang digunakan secara umum- yang berpusat pada Partai Masjumi, serta kelompok Islam konservatif –atau sering disebut tradisionalis- yang berpusat pada Nadhatul Ulama.
4. Nasionalisme Radikal, aliran yang muncul sebagai respon terhadap kolonialisme dan berpusat pada Partai nasionalis Indonesia (PNI).
5. Tradisionalisme Jawa, penganut tradisi-tradisi Jawa. Pemunculan aliran ini agak kontroversial karena aliran ini tidak muncul sebagai kekuatan politik formal yang kongkret, melainkan sangat mempengaruhi cara pandang aktor-aktor politik dalam Partai Indonesia Raya (PIR), kelompok-kelompok Teosufis (kebatinan) dan sangat berpengaruh dalam birokrasi pemerintahan (pamong Praja).

Aliran pemikiran ini dalam pemilu 1955 direfleksikan melalui partai-partai peserta pemilu, diantaranya :
- Komunisme (Partai Komunis Indonesia / PKI)
- Nasionalisme radikal (PNI)
- Islam (Masyumi, NU)
- Tradisionalisme Jawa (PNI, NU, PKI),
- Sosialisme demokrat (PSI, Masyumi, PNI).

Aliran pemikiran tersebut pada pemilu 2009 warna ideologi kepartaian di Indonesia tinggal dua corak. Yakni :
1. Nasionalis yang direpresentasi PDI-P, Partai Golkar,dan Partai Demokrat, dan partai lain.
2. Islam yang diwakili PPP, PBB, PKS, dan partai lain.

Yang menjadi persoalan kini ialah bagaimana dapat menjadikan individu-individu yang berada di masyarakat Indonesia untuk mempunyai ciri “dinamika dalam kestabilan” yakni menjadi manusia yang ideal yang diinginkan oleh Pancasila. Maka disini diperlukanlah suatu proses yang dinamakan sosialisasi, sosialisasi Pancasila. Sosalisasi ini jikalau berjalan progressif dan berhasil maka kita akan meimplikasikan nilai-nilai Pancasila kedalam berbagai bidang kehidupan. Dari penanaman-penanaman nilai ini akan melahirkan kebudayaan-kebudayaan yang berideologikan Pancasila. Proses kelahiran ini akan memakan waktu yang cukup lama, jadi kita tidak bisa mengharapkan hasil yang instant terjadinya pembudayaan.

Dua faktor yang memungkinkan keberhasilan proses pembudayaan nilai-nilai dalam diri seseorang yaitu sampai nilai-nilai itu berhasil tertanam di dalam dirinya dengan baik. Kedua faktor itu adalah:

1. Emosional psikologis, faktor yang berasal dari hatinya
2. Rasio, faktor yang berasal dari otaknya

Jikalau kedua faktor tersebut dalam diri seseorang kompatibel dengan nilai-nilai Pancasila maka pada saat itu terjadilah pembudayaan Pancasila itu dengan sendirinya.
Tentu saja tidak hanya kedua faktor tersebut. Segi lain pula yang patut diperhaikan dalam proses pembudayaan adalah masalah waktu. Pembudayaan tidak berlangsung secara instan dalam diri seseorang namun melalui suatu proses yang tentunya membutuhkan tahapan-tahapan yang adalah pengenalan-pemahaman-penilaian-penghayatan-pengamalan. Faktor kronologis ini berlangsung berbeda untuk setiap kelompok usia.
Melepaskan kebiasaan yang telah menjadi kebudayaan yang lama merupakan suatu hal yang berat, namun hal tersebutlah yang diperlukan oleh bangsa Indonesia. Sekarang ini bangsa kita memerlukan suatu transformasi budaya sehingga membentuk budaya yang memberikan ciri Ideal kepada setiap Individu yakni berciri seperti manusia yang lebih Pancasilais. Transformasi iu memerlukan tahapan-tahapan pemahaman dan penghayatan yang mendalam yang terkandung di dalam nilai-nilai yang menuntut perubahan atau pembaharuan. Keberhasilan atau kegagalan pembudayaan dan beserta segala prosesnya akan menentukan jalannya perkembangan politik yang ditempuh oleh bangsa Indonesia di masa depan.